Beranda | Artikel
Meneladani Wara Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
Senin, 20 Juli 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Meneladani Wara’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Aktualisasi Akhlak Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 29 Dzulqa’dah 1441 H / 20 Juli 2020 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Meneladani Wara’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Pada kesempatan yang lalu kita telah membicarakan 6 bentuk wara‘. Berikut ini kita akan lanjutkan dengan kutipan dan nasihat dari Ibnul Qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin. Beliau di sini berbicara tentang wara’. Beliau mengatakan bahwa:

  • Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala itu akan mendorong hamba untuk bersikap wara’, hanya meminta dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak banyak berangan-angan.
  • Keimanan yang mendalam akan hari pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, hari dimana kita berhadapan dan berdiri dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuahkan sikap zuhud terhadap dunia.
  • Ma’rifatullah (pengetahuan seorang hamba tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala) akan melahirkan rasa cinta, rasa takut dan rasa harap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  • Qanaah akan membuahkan sikap ridha.
  • Dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghidupkan hati seorang hamba.
  • Tawakal adalah rasa yang lahir dari iman seorang hamba terhadap takdir. Apabila seorang hamba senantiasa merenungi seluruh asma’ dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya itu akan membantunya untuk menjadi hamba yang zuhud.
  • Taubat, dzikrullah dan ridha akan membuahkan cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan meningkatkan rasa syukur hamba kepada nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  • Kedudukan hamba akan menjadi terhormat dengan azam (tekad dan kesabaran) yang dia miliki.
  • Kemampuan berpikir akan membantu lahirnya azam untuk melakukan perkara-perkara yang bermanfaat.
  • Muraqabah (merasa diawasi Allah Subhanahu wa Ta’ala) akan mendorong seorang hamba untuk memperhatikan setiap langkahnya, tiap detik, tiap saat di muka bumi ini. Sehingga hidupnya menjadi berfaidah, bermanfaat dan tidak tersia-siakan begitu saja.
  • Hamba yang memiliki rasa malu, rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa bertaubat, mengakui dan mengetahui kesalahannya, dia akan mampu untuk menghancurkan dan meredam hawa nafsu. Hingga hatinya akan terus hidup dan terhibur. Jika demikian, seorang hamba akan menyadari betapa naifnya dirinya dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia banyak meminta kepada Allah sementara dia jarang menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mau membersihkan hati, tidak mau menjaga lisan dari dosa.

Sikap-sikap tersebut akan melahirkan ketaatan dan ketundukan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula merenungi ayat-ayat Kauniyah (alam semesta) dan ayat-ayat Qauliyah (Al-Qur’an) dan Sunnah dengan tadabbur akan membuahkan cara pandang yang benar. Dan dari situ akan lahir keyakinan yang benar pula.

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa ada dua kunci utama agar hamba dapat meraih semua kebaikan yang disebutkan tersebut.

  1. Hamba tersebut harus harus memindahkan hatinya dari dunia kepada akhirat, mengarahkan perhatiannya/fokusnya kepada akhirat dan meninggalkan sejenak fokus dan perhatiannya kepada dunia.
  2. Hamba itu harus memanfaatkan hatinya untuk merenungi, mentadaburi, mengagungkan dan mempelajari semua makna-makna ayat-ayat Kauniyah dan Qauliyah tadi. Termasuk maksud dan sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan dan menurutnkan ayat-ayat tersebut lalu menjadikannya penawar bagi penyakit-penyakit yang menyerang hati. Karena penyakit-penyakit yang menyerang hati dapat kita sembuhkan dengan ilmu.

Seperti itulah jalan yang terdekat dan termudah ditempuh untuk dapat menggapai keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan orang yang menempuh jalan tersebut dia tidak akan merasa lelah, dia tidak akan merasa lapar ataupun dahaga. Bahkan di jalan ini tidak ditemukan rintangan yang berarti seperti jalan-jalan yang lain. Demikian penuturan dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyah yang berkenaan dengan sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang hamba di dalam perjalanannya menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Salah satu sikap yang dituturkan adalah wara’, wara’ adalah bekal yang diperlukan dalam perjalanannya menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cukup banyak tadi poin-poin disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.

Meneladani Wara’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Kita tahu bahwasanya Nabi adalah teladan terbaik dalam segala perkara yang baik, termasuk di dalamnya adalah dalam sikap wara’, beliau adalah panutan dan teladan orang-orang yang beriman. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berkata kepadanya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita: “Sewaktu pulang menemui keluargaku, aku mendapati sebutir kurma jatuh tergeletak di tempat tidur. Aku pun memungutnya untuk memakannya, namun seketika itu muncul kekhawatiran bahwa itu merupakan kurma zakat yang tidak halal bagi beliau. Maka aku pun tidak jadi memakannya.”

Ini adalah bentuk wara’, menjaga diri dari perkara yang syubhat, adapun menjaga diri dari yang haram tentunya adalah sesatu yang wajib. Kalau itu jelas-jelas kurma sedekah, tidak ada keinginan Nabi untuk mendekatinya, meraihnya, mengambilnya. Adapun kurma yang ditemukan Nabi ini belum jelas statusnya, tergeletak di tempat tidur Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ada kemungkinan ini kurma zakat atau kurma sedekah, ada juga kemungkinan bahwa ini adalah kurma-kurma lainnya. Tapi Nabi di sini mengambil sikap yang aman bagi diri beliau. Maka beliau pun menjauhi kurma itu dan tidak jadi memakannya karena khawatir kurma itu adalah kurma zakat yang tidak halal bagi beliau. Ini merupakan bentuk wara’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Rasulullah juga mengajarkan sikap wara’ tersebut kepada anggota keluarga beliau. Pada suatu hari Al-Hasan bin Ali (Cucu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) mengambil sebutir kurma zakat. Waktu itu Al-Hasan bin Ali masih kecil, kemudian dia memasukkannya ke mulutnya. Melihat itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bergegas mendekatinya dan segera mengeluarkannya dari mulut Al-Hasan kemudian Nabi berkata kepada Al-Hasan: “Tidakkah kamu tahu bahwa kita (keluarga Muhammad) tidak halal memakan harta zakat.” Jadi Nabi menjelaskan kepada cucu beliau, walaupun anak kecil tapi Nabi memberikan suatu masukan/informasi/ilmu yang harus diketahui oleh Al-Hasan bin Ali.

Ini adalah pelajaran bagi para orang tua, jangan berat untuk menyampaikan ilmu kepada anak-anak. Walaupun anak kecil, dia paham, dia mengerti bahwa apabila kita sampaikan satu ilmu yang perlu dia ketahui, dia akan merekamnya. Terbukti suatu ketika Abul Aswad Ad-Duali bertanya kepada Al-Hasan bin Ali ketika Al-Hasan bin Ali sudah dewasa: “Apakah kenangan yang masih kamu ingat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?”, maka Al-Hasan bin Ali menceritakan kisah ini, yaitu ketika dia mengambil kurma zakat dan memasukkannya ke mulut beliau, Nabi datang untuk mengorek kurma itu dari mulutnya dan mengeluarkannya lalu berkata kepadanya bahwa keluarga Muhammad tidak halal memakan harta zakat.

Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari kisah tersebut. Diantaranya:

Pertama, Nabi mengajarkan wara’ kepada anak kecil. Bahwa hendaknya menjauhi perkara-perkara yang haram. Mungkin anak-anak tidak tahu, ketika dia melihat tumpukan manakan, dia ambil, dia kira itu halal, ternyata itu tidak halal baginya. Walaupun anak ini belum mukallaf, kalaupun dia makan belum terkena dosa. Tapi perlu diajarkan kepada anak-anak, jangan kita biarkan. Dia memang belum terkena hukum, tapi ada satu pelajaran yang bisa kita tanamkan di situ.

Kedua, orangtua janganlah merasa berat ataupun malas untuk memberikan suatu masukan yang positif kepada anak-anak atau bicara kepada mereka untuk menjelaskan suatu ilmu kepada mereka. Jangan kita katakan percuma, anak-anak sudah mengerti. Dan terbukti Al-Hasan bin Ali masih mengingat peristiwa-peristiwa tersebut sampai beliau dewasa.

Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh membimbing umat beliau agar menghiasi diri dengan sikap wara’ tersebut. Nabi pernah bersabda dalam sebuah hadits, beliau berkata kepada Abu Hurairah secara khusus dan ini juga untuk seluruh umat beliau:

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ ، وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا ، وَأَحْسِنْ مُجَاوَرَةَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا ، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقُلُوبَ

“Wahai Abu Hurairah, jadilah kamu seorang yang wara’, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah. Jadilah kamu orang yang qana’ah, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur. Dan sukailah bagi orang lain apa yang kamu sukai untuk dirimu, niscaya kamu akan menjadi seorang mukmin. Dan berbuat baiklah kepada orang yang bertetangga denganmu, niscaya kamu akan menjadi seorang muslim yang sejati. Dan sedikitkanlah tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah)

Inilah pesan-pesan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Salah satunya beliau berpesan kepada Abu Hurairah agar bersikap wara’ agar menjadi hamba yang paling taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula di dalam hadits yang lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَريبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمأنينَةٌ، وَالْكَذِبَ رِيبةٌ

“Tinggalkanlah apa yang masih diragukan dan beralihlah kepada apa yang tidak membuat dirimu ragu. Ketahuilah bahwasanya kejujuran itu akan membuat jiwa tenang sedangkan kebohongan itu akan membuat jiwa gelisah.” (HR. Tirmidzi)

Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian

Download mp3 yang lain tentang Aktualisasi Akhlak Muslim di sini.


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48761-meneladani-wara-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam/